Kalanari: Pertunjukan (Teater) hanya Salah Satu Ruang Singgah
Ketika diminta untuk membuat tulisan berkenaan dengan empat tahun Kalanari, saya benar-benar tidak tahu harus menulis apa. Mencoba untuk memutar ingatan, sayangnya gagal. Lalu saya tonton kembali beberapa dokumentasi pertunjukan Kalanari. Mencoba membaca ulang Kalanari. Alhasil malah jadi sentimentil! Ingatan saya jauh kembali ke masa-masa awal berteater. Seakan tidak percaya dengan pilihan saya sendiri! Berteater seperti sebuah belokan yang tidak pernah saya duga! Belokan yang mengubah pilihan jalan hidup. Membawa saya tinggal di Jogja hingga sembilan tahun ini. Kini saya sedang berjalan di sebuah jalan bernama Kalanari Theatre Movement.
Andika Ananda dalam Topeng Ruwat, TMII, 27 Oktober 2012 | Foto: Ari Gunawan |
Saya hijrah ke Jogja tahun 2007 untuk kuliah dan berteater. Betapa terperangahnya dengan Jogja ketika itu. Saya baru sadar bahwa proses yang saya jalani sebelumnya tidak ada apa-apanya! Di tahun yang sama saya bergabung di kelompok Seni Teku. Berproses bersama orang-orang yang keras kepala seperti Ibed, Rendra, Joe, Lintang dan beberapa teman yang lain. Cukup banyak suka duka di Seni Teku. Perdebatan dan kasih sayang mewarnai proses kami. Singkat cerita dengan berat hati Seni Teku harus kami tinggalkan. Tahun 2011 adalah tahun terakhir kami membuat karya bersama. Ketika itu kami menggarap puisi WS Rendra, Mencari Bapa.
Tahun 2012 atas inisiatif Ibed, dibentuklah Kalanari Theatre Movement. Nama baru yang aneh bagi saya. Bahkan sampai hari ini rasanya masih sering janggal saya ucapkan. Pada mulanya Kalanari hanya berawak tiga orang. Ibed adalah lokomotif sekaligus peramu gagasan. Saya adalah salah satu gerbong penyokongnya. Sedangkan Dina adalah orang paling penting yang sulit saya ibaratkan! Dina yang selalu paling diribetkan dengan tetek bengek konsumsi latihan dan produksi pertunjukan. Tanpa Dina, Kalanari sulit bergerak!
Empat tahun waktu berjalan. Beberapa nama seperti Jibna, Fendi, Kiki, Satriyo, Dinu, Perek, Tita, Brily, Dayu, Gandes, Pipin dan sejumlah nama lain tercatat pernah singgah di Kalanari. Beberapa di antaranya sudah pergi. Beberapa yang lain datang silih berganti. Begitulah Kalanari! Kami bersepakat ini adalah ruang belajar bersama. Jika merasa sudah selesai atau tidak betah siapa pun berhak untuk pergi.
Berada di Kalanari dan berjarak dengan Seni Teku membuat saya mencoba untuk membacanya lagi Seni Teku. Tentang hal-hal yang selama ini tak disadari. Tentang hal-hal penting yang selama ini diabaikan. Bahwa berkomunitas tidak semudah yang dibayangkan. Bahwa visi jauh begitu penting daripada sekadar ikatan pertemanan. Bahwa komunitas tidak akan bisa benar-benar ideal untuk banyak orang dan banyak lagi hal lainnya.
Setiap komunitas mempunyai keyakinan dan cita-citanya. Demikian pun juga Kalanari. Kami memposisikan teater sebagai sesuatu yang berharga sekaligus tidak begitu penting! Teater hanya bagian kecil dari makro kehidupan. Sedangkan kami bagian yang lebih atomik lagi dari sesuatu yang bernama teater. Boleh dikatakan kami tak benar-benar sedang mengukuhi satu ideologi tertentu! Barangkali baru sebatas kecenderungan. Dan seandainya suatu saat kami beralih pada kecenderungan yang lain, maka kami menerima itu sebagai bagian dari dinamika berproses.
Pengalaman Keaktoran di Kalanari
Sejak tahun 2012 hingga hari ini Kalanari tidak pernah pentas di panggung. Melainkan di tempat-tempat yang tidak umum (inkonvensional) untuk dijadikan ruang pertunjukan. Konsekuensi dari pilihan ini adalah kesadaran dan kepekaan improvisasi seseorang jauh lebih dipentingkan ketimbang keterampilan teknis. Pendekatan improvisatoris sebagai bagian dari proses negosiasi ruang yang kami lakukan bisa melalui laku tubuh, perasaan, verbal atau pun merasakan atmosfir (energi) dari dimensi sebuah ruang. Kami menyebut ini dengan “mengakrabi ruang”, di mana siapa pun dituntut untuk siap berhadapan dengan berbagai kemungkinan.
Keterlibatan sejak awal di Kalanari membuat saya mengenal betul Ibed. Sebagai sutradara ia benar-benar memberikan keleluasan pada siapa pun untuk bereksplorasi, terutama aktor. Meskipun demikian saya sadar, sebagai pribadi (aktor) saya memiliki keterbatasan ruang dan cara pandang. Sedangkan sutradara adalah peramu artistik, pemilik otoritas sekaligus garda depan dengan mata pandang lebih luas.
Dalam latihan dan eksplorasi pertunjukan kami lebih banyak mengandalkan insting ketimbang perhitungan teknis dan dramatika yang rigit. Bila boleh jujur, sebenarnya pilihan ini adalah cerminan ketidakmampuan kami. Maka jika dicermati karya-karya Kalanari adalah karya-karya yang belum selesai. Ibarat ukiran kayu yang masih kasar. Dan belum layak “dijual”! Kami sadar dan tak menolak ini sebagai kelemahan sekaligus sesuatu yang membuat kami berbeda dari yang lain.
Tubuh dengan segenap perangkat inderanya menyerap berbagai pengalaman yang nantinya akan menjadi bagian teks laku seorang aktor. Demikian pula pengalaman ketubuhan (pribadi) saya di Kalanari. Sebagian cara pandang dan penyikapan kesenian saya melebur begitu rupa dengan Kalanari. Saya rasa tak berlebihan jika saya katakan bahwa saya dan Kalanari adalah pribadi dan komunitas yang saling merepresentasikan.
Dalam kredo kami, pertunjukan hanyalah salah satu ruang singgah. Kualitas pertunjukan bukan yang utama. Kolektivitas proses harus dikembalikan pada perenungan pribadi. Pribadi-pribadi harus tumbuh. Menjadi siapa saja, apa saja dan di mana saja. Kalanari tak membentuk aktor. Aktor hanya distimulir untuk berpikir dan sadar akan potensi dan obsesinya. Sutradara dan aktor lebih banyak sharing metode dan berbagi ladang pengalamannya. Harapannya serapan atas metode dan pengalaman itu akan menjadi satu term of refference bersama dalam sebuah laku latihan dan laku pertunjukan.
Saya menyadari bahwa semuanya punya batas waktu. Suatu saat Ibed harus pulang ke kampung halaman untuk mencangkul di kebun dan mengabdikan dirinya pada leluhur, demikian pun juga saya dan teman-teman lain yang akan menempuh jalannya masing-masing. Dan saya yakin jika saat itu tiba saya tak akan benar-benar siap!
Empat tahun yang lebih cepat.
Dari yang dibayangkan.
Diam atau bergerak terasa sama saja
Jalan manakah yang sudah dilalui?
Jalan mana lagi yang akan kita tempuh?
Apakah masih begitu panjang?
Mungkinkah kita harus segera berkemas dan bergegas pergi?
Ataukah tetap di sini, untuk menunggu sementara?
Sementara yang tak pernah tegas kita putuskan batasnya.
Atau sementara sebelum kita pulang ke rumah masing-masing.
Dan mengenang semua ini.
Bukan sebagai kebanggaan!
Yogyakarta, 29 Februari Tahun Kabisat 2016
0 komentar