“Kapai-kapai (atawa Gayuh)” dalam Tafsir Komunal Jawa
Kapai-kapai (atawa Gayuh) di Taman Budaya Yogyakarta, 16 Oktober 2013 | Foto: Pieter Andas |
Tim Pengamat Festival Teater Jogja 2013
- Lono Simatupang
- Indra Trangggono
- Bambang Paningron
Kalanari Theatre Movement (KTM) melalui pementasan Kapai-kapai (atawa Gayuh) (hasil pembacaan ulang atas naskah Kapai-kapai karya Arifin C Noer) lebih menekankan teater sebagai wahana untuk meciptakan gerakan kebudayaan (mempelajari, menginterpretasi, mengeksplorasi dan merepresentasikan kebudayaan suatu masyarakat. Tujuan internal adalah meneguhkan kembali ikatan antara pertunjukan dengan masyarakat. Tujuan ekstenalnya menggugah masyarakat untuk mengembangkan kebudayaannya.
Bagaimana dua tujuan itu bisa dibaca melaui pertunjukan Kapai-kapai? Tujuan pertama KTM tampak pada pilihan politik (memilih) ruang (permainan). Kita tahu, setiap ruang memiliki kandungan “politik” (cita-cita, cara dan meraih tujuan berkomunikasi) yang berbeda.
Gedung pertunjukan (baik procenium maupun arena) memiliki “politik penjarakan” pertunjukan dengan publiknya. Selain itu, gedung pertunjukan memiliki potensi untuk “membekap” teater pada ruang eksklusif, bahkan juga elitis. Teater (seolah) menjadi entitas budaya yang “terkucil”. Kelekatan komunikasi teater dengan masyarakat (terasa) melekang.
Ibed Surgana Yuga dan KTM mencoba mengatasi “jebakan” politik ruang bernama gedung pertunjukan itu dengan memilih ruang terbuka di kompleks TBY untuk menggelar pertunjukan dan membangun komunikasi yang intim dengan penonton. Suasana yang terbangun pun cair, khas suasana yang diciptakan teater tradisional. Formalisme pertunjukan dilucuti. Teater terasa hadir lebih telanjang dan otentik. Ada kedalaman komunikasi. Penonton dan pementas berada dalam ruang upacara bersama untuk meneguhkan solidaritas sosial dan kemanusiaan; dua hal yang kini terasa semakin tergerus pragmatisme.
Mengembalikan peristiwa teater menjadi upacara bersama berarti mengutuhkan kembali realitas yang terfragmentasi (terpecah). Upacara yang dihadirkan Ibed dan KTM berupaya melahirkan totalitas komunikasi dan totalitas dunia pementas dan penonton ke dalam suatu jagat yang (diupayakan) utuh. Lazimnya dalam sebuah upacara, pementas dan penonton bersama-sama mengalami pencucian jiwa (katarsis).
Namun, upacara itu muskil terjadi jika KTM tidak mampu memenuhi prasyarat kehadiran teater menjadi tenunan makna. Tenunan makna ini dibangun dari kekuatan naskah, keliatan alur, ketangguhan penokohan dan peristiwa dramatik. KTM relatif mampu memenuhi prasyarat itu. Hal itu tampak antara lain pada upaya kreatif mereka mengolah ruang. Hamparan taman, pohon, tanaman, bagungan gedung, dan lainnya dihadirkan sebagai teks pertunjukan yang secara signifikan membangun makna. Di sini, KTM tampak berusaha serius untuk menghadirkan teater yang menembus realitas: mengembalikan teater ke dalam denyut kehidupan publik. Lihat upaya mereka yang cukup menarik ketika memanfaatkan pohon akasia menjadi layar bak kelir wayang. Juga ruas-ruas ruang terbuka Taman Budaya Yogyakarta yang dijadikan ruang permainan dan perjalanan para tokoh lakon.
Teater (Kapai-kapai) dan penonton saling memberi ruang bagi terjadinya dialog nilai. Dialog itu pada mulanya bergerak dari peristiwa-peristiwa dramatik (konten, tema, manusia/aktor, suasana, simbol dan ruang penghadiran) menuju pemahaman dan penghayatan kolektif atas persoalan yang ditafsirkan dari jagat teks Kapai-kapai Arifin C Noer menjadi Gayuh-nya Ibed dan KTM.
Ada upaya penafsiran ulang atas kisah dan tokoh. Yang paling menonjol adalah upaya Ibed “menggeser” jagat dongeng dengan tokoh Emak (Kapai-Kapai Arifin C Noer) ke kisah komunitas tradisional wayang dengan tokoh Dalang. Dalang yang menggantikan tokoh Emak berfungsi sebagai “penentu nasib” tokoh Abu, dengan pelbagai represi simboliknya.
Pada mulanya, tokoh Dalang terkesan “bermain-main menjadi Tuhan”, namun belakangan ia tak lebih dari seorang “diktator” atas diri Abu. Penghadiran Dalang sebagai manusia sosial ini, menjadi terkesan rapuh karena relasi antara dia dengan Abu sebatas relasi sosial yang berjarak. Bandingkan dengan tokoh Emak (Arifin C Noer) yang memiliki ikatan emosional, ikatan darah sehingga memiliki otoritas yang masuk akal ketika mamaksakan kehendaknya pada tokoh Abu. Ada pun pada tokoh Dalang, relasi yang lebih lekat, kental, dan luluh dengan tokoh Abu itu tidak terbangun. Bahkan hubungan patron-klien, seperti tampak pada komunitas agraris feodal, tidak tampak. Ini yang menjadikan motif tindakan Dalang untuk merepresi Abu terasa tidak kuat. Juga ketika sang Dalang membunuh Abu.
Akan lain misalnya, tokoh Dalang diberi sandaran transendental. Ia bisa hadir sebagai sosok simbolik “seolah-olah Sang Maha Penulis Skenario Nasib Manusia”, semacam Dewa dalam jagat pewayangan. Dengan sandaran transendental itu, maka tokoh Dalang memiliki otoritas atas nasib Abu. Jalan lain adalah membangun relasi tokoh Abu dengan Dalang menjadi relasi yang terkait hubungan darah, misalnya anak dan bapak. Ini jauh lebih mudah dan sederhana.
Namun lepas dari kelemahan di atas – yang memang mengganggu itu – pertunjukan ini menunjukkan beberapa hal yang menarik.
Pertama, bacaan mereka atas teks lakon yang kreatif, sebuah tafsir tentang absurditas nasib manusia dengan setting urban perkotaan (jagat buruh) ke dalam absurditas komunitas argraris tradisional (pedesaan). Dunia komunal yang kental terasa sangat mewarnai pementasan ini. Ini juga didukung oleh upaya menerjemahkan lakon dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa, meski tidak rigid. Pilihan bahasa Jawa menjadikan pementasan ini terasa hidup dan berdenyut. Potensi-potensi humor yang segar pun mencuat menjadi unsur yang memperkuat suasana pertunjukan.
Kedua, ide menjadikan teater sebagai gerakan kebudayaan di mana teater dihadirkan sebagai media untuk melakukan upacara bersama. Dunia pertunjukan yang selama ini berjarak akibat berbagai fragmentasi budaya, mencoba dikembalikan luluh dengan komunitas penontonnya. Pementas dan penonton sama-sama memiliki makna signifikan dalam peristiwa teater.
Gerakan kebudayaan itu juga tampak pada upaya Ibed dan KTM untuk melibatkan komunitas Desa Sumber, Magelang, Jawa Tengah, menjadi para pelakon Kapai-kapai. Mereka mengunyah dan mencerna dialog-dialog tidak dari teks baku (naskah), seperti dalam teater modern, namun berbasis pada “wos” (inti persoalan) dan improvisasi seperti dalam teater tradisional (wayang orang, ketoprak dan lainnya).
Ketiga adalah upaya yang maksimal dalam menghadirkan ruang terbuka sebagai teks pertunjukan yang erat dengan peristiwa teater yang mereka hadirkan. Mereka melakukan pemaknaan atas ruang menjadi kekuatan estetik dan simbolik pementasan teater.
Catatan:
Tulisan di atas merupakan bagian dari ulasan tim pengamat terhadap pertunjukan lima grup yang tampil dalam Festival Teater Jogja 2013 di Taman Budaya Yogyakarta. Dalam festival ini, Kapai-kapai (atawa Gayuh) oleh Kalanari Theatre Movement digelar pada 16 Oktober 2013.
Post-post terkait:
Related posts:
“Kapai-kapai (atawa Gayuh)” di Mimbar Teater Indonesia 2013 dan Festival Teater Jogja 2013
Naskah Lakon sebagai “Sekadar” Media Eksplorasi Artistik dan Gerakan Budaya
Teater dan Ideologi
0 komentar