Pertunjukan Multikultural di Candi Kimpulan Kompleks UII
Musik, tarian dan meditasi berjalin menjadi satu dan semakin intens seiring dengan hujan yang semakin deras di kompleks Candi Kimpulan. Alam pun turun serta. Semua menjalin cakap, sebuah harmoni.
Melantunkan shalawat | Foto: Gardika Gigih Pradipta |
Selasa siang, 11 Februari 2014 di Candi Kimpulan dalam kompleks perpustakaan Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta digelar pertunjukan seni usai sarasehan dalam rangkaian ‘Menggali Pustaka Candi’. Selain pertunjukan seni dan sarasehan, juga ada seni instalasi. Acara ini digagas oleh Universitas Islam Indonesia (UII) bekerja sama denga Komunitas Padepokan Lemah Putih (Karanganyar) dan Kalanari Theatre Movement (Yogyakarta).
Sebelumnya di sebuah ruangan kompleks perpustakaan UII, diadakan sarasehan dengan topik “Perpustakaan Sebagai Sumber Penciptaan Ilmu dan Kreativitas Seni”. Sarasehan menghadirkan tiga pembicara, yakni Elizabeth D Inandiak, seorang penulis yang dikenal melalui penulisan kembali Serat Centhini; kemudian Kris Budiman dosen UGM yang penulis buku; dan Jen Shyu seniman musik dan tari.
Setelah sarasehan berakhir pada pukul 13.15 para hadirin menuju luar ruangan perpustakaan dan mengitari Candi Kimpulan, tempat diadakan pertunjukan seni. Sebuah candi, perpustakaan bergaya modern, dan pertunjukan seni berbaur menjadi jalinan komunikasi yang unik.
Pertunjukan dimulai pada pukul 14.00 dengan menghadirkan banyak seniman lintas bidang baik dari dalam maupun luar negeri. Di antaranya Wukir Suryadi, Jen Shyu, Suprapto Suryodarmo, Mugiyono Kasido dengan anaknya yang masih belia – Marvel.
Pertunjukan pertama menghadirkan shalawatan dari Pesantren Al Qodir Cangkringan Sleman. Sebuah pluralisme yang unik tampak saat para anggota pesantren melantunkan shalawatan dan membunyikan rebana. Ya, shalawatan di Candi Kimpulan yang merupakan candi bercorak Hindu.
Mugiyono Kasido menari bersama anaknya yang belia, Marvel | Foto: Gardika Gigih Pradipta |
Setelah itu, penari Mugiyono Kasido yang datang dari Solo bersama anaknya yang belia – Marvel tampil dengan merespon Candi Kimpulan. Dengan membawa dua buah gunungan wayang, Mugiyono Kasido mulai melantunkan teks-teks berbahasa Jawa sedangkan Marvel mulai menunjukan bakat menarinya. Mereka berdua lalu memasuki kompleks candi. Respon komunikasi dengan Candi Kimpulan semakin intens dan tepat di samping candi, kedua penari beda generasi ini bercakap lewat gerakan dan membentuk pola-pola abstrak di pasir halaman candi.
Seniman dari Venezuela yakni penari Estefania Pifano, juga bercakap dengan candi namun dengan caranya sendiri sebagai orang asing. Ia memasuki kompleks candi lalu mulai menari mengelilingi candi seirama dengan lagu Bjork, penyanyi eksentrik dari Islandia. Candi di Yogya, penari dari Venezuela diiringi musik dari penyanyi Islandia. Tak hanya berhenti di situ, usai lagu Bjork mulai mengalun sebuah komposisi piano klasik ala Eropa mengiringi gerak gerik Estefania. Percakapan melintas batas melintas budaya.
Hari semakin sore dan musim penghujan yang sedang dalam masanya mulai menyapa kompleks Candi Kimpulan. Hujan mulai turun rintik-rintik saat pertunjukan kolaborasi terakhir dimulai. Kolaborasi antara Jen Shyu, Wukir Suryadi, Yuli Miroto, Suprapto, Pedande Mahendra Jaya dari Bali, Misbach dari Makassar, dan lainnya. Sebuah kolaborasi musik dan tari diawali dengan sebuah seruan. Wukir Suryadi tampil dengan instrumen buatannya mengadaptasi instrumen dawai unik, Hurdy Gurdy ala Eropa. Wukir mencipta Hurdy Gurdy versi Jawa dengan berbagai material diantaranya menyerupai badan kendang. Hurdy Gurdy yang juga sering disebut dengan biola beroda dimainkan dengan cara memutar engkol terus menerus yang menggesek dawai, kemudian nada-nadanya dimainkan dengan knob-knob kayu.
Jen Shyu yang sebelumnya menjadi pembicara sarasehan tampil dengan gong gwaenggari, instrumen tradisional Korea. Seniman multitalenta ini juga menyanyi dengan berbagai teknik dan menari secara bersamaan. Sedangkan Suprapto Suryodarmo pendiri Padepokan Lemah Putih karanganyar menari dan bermeditasi merespon candi. Yuli Miroto yang mewakili suaminya, penari Martinus Miroto yang tidak bisa hadir ikut tampil nembang. Sedangkan Pedande Mahendra Jaya dari Bali bermeditasi, mendukung pertunjukan dalam doa.
Wukir Suryadi memainkan instrumen dawai unik Hurdy Gurdy menatap Supraopto Suryodarmo yang tengah bermeditasi | Foto: Gardika Gigih Pradipta |
Musik, tarian dan meditasi berjalin menjadi satu dan semakin intens seiring dengan hujan yang semakin deras di kompleks Candi Kimpulan. Alam pun turun serta. Semua menjalin cakap, sebuah harmoni.
Gardika Gigih Pradipta
Sumber:
tembi.net, 20 Feb 2014 06:00:00
0 komentar