Teater dan Ideologi
Kapai-kapai (atawa Gayuh) di Taman Budaya Yogyakarta, 16 Oktober 2013 | Foto: Pieter Andas |
Indra Tranggono
Pada akhirnya, teater bukan sekadar media bagi para kreatornya untuk berkutat dengan persoalan teknis dan artistik, bukan pula sebuah ‘kantor’ kreativitas yang sibuk, melainkan juga subjek yang terobsesi pada gerakan kebudayaan. Di sini teater membutuhkan ideologi: horizon gagasan atau orientasi nilai penciptaan karya.
Ideologi teater terkait beberapa hal. Pertama, motif penciptaan karya (untuk apa dan untuk siapa karya diciptakan). Kedua, metodologi (bagaimana karya itu diciptakan). Ketiga, fungsi karya dalam konstelasi sosial-budaya. Keempat, cita-cita apa yang akan diraih atau dunia ideal macam apa yang hendak diwujudkan.
Ideologi teater memahami pementasan teater bukan sebuah hasil ‘kerajinan’ para ‘tukang’ teater atas nama proyek tertentu, melainkan pencapaian ‘ideal’ kesenian melalui eksplorasi estetik, sosial dan kultural yang dilakukan para kreator. Mereka melakukan studi atau riset sosial dan pustaka untuk memahami/menguasai persoalan (konten, tema, pesan), sebelum akhirnya memasuki dunia pengolahan simbol (kisah, tokoh, alur, suasana, peristiwa dramatik) dan melahirkan entitas pementasan teater yang memiliki ukuran ‘tiga tinggi’ yakni tinggi ideologi, tinggi estetika dan tinggi dalam komunikasi.
Kepentingan semata-mata untuk seni bagi kreator teater ‘ideologis’ sering dianggap jebakan karena seni menjadi wilayah asing bagi komunikasi publik. Simbol verbal, visual dan auditif teater pun menjadi terlalu rumit dan gelap. Ironisnya, tidak sedikit seniman yang menganggap kerumitan pola ungkap/ucap sebagai ukuran tingginya kualitas seni. Ini yang ditolak kreator teater ‘ideologis’.
Bagi kreator teater ‘ideologis’, pencapaian estetik tidak semata-mata demi kepentingan seni, melainkan untuk mewujudkan cita-cita ideal kebudayaan. Teater pun menjadi wahana melakukan gerakan kebudayaan untuk membongkar berbagai arus besar gagasan, pemahaman dan nilai suatu kebudayaan mapan. Kreator teater ‘ideologis’ juga membaca, menafsirkan dan melakukan transformasi kebudayaan yang mapan menjadi gagasan, pemahaman dan nilai yang berbeda dan segar. Ini artinya, mereka melakukan subversi kreatif atas versi-versi besar kebudayaan yang dianggap stagnan atau istilah Umar Kayam: involutif.
Di jagat teater modern di Indonesia telah muncul kelompok-kelompok teater ‘ideologis’ secara politik-kebudayaan, melalui berbagai eksperimentasinya. Muncul nama besar seperti Teater SAE (Boedi S Otong-Afrizal Malna) yang melakukan subversi atas rezim naskah lakon, dimana para aktor memiliki kedaulatan atas tubuhnya dan naskah bukan lagi majikan aktor. Eksperimentasi teaterikal Teater SAE menimbulkan gelombang pengaruh yang signifikan. Ia memberi inspirasi banyak grup teater di negeri ini. Bahkan tidak sedikit grup teater yang secara sadar menjadi ‘epigon’ Teater SAE. Setelah era kejayaan teater versi Rendra, Arifin C Noer dan Putu Wijaya, Teater SAE layak disebut teater yang memberi banyak pengaruh dan membuka berbagai kemungkinan estetik.
Eksperimentasi
Pintu penjelajah estetik juga semakin menganga lebar dengan munculnya dua grup teater dari Yogyakarta, yakni Teater Gardanalla (Joned Suryatmoko) dan Kalanari Theatre Movement (Ibed Yuga).
Teater Gardanalla, yang memilih drama realis sebagai medan pengolahan estetik, memahami realisme bukan sekadar realitas tiruan yang artifisial dan diangkat di atas panggung. Di tangan Joned yang menulis lakon sekaligus menyutradarainya realisme hadir sebagai pengalaman estetik yang otentik bagi penonton. Jarak estetik dan komunikasi antara pementas dan penonton dilebur menjadi sebuah medan pengalaman yang dihayati secara bersama-sama. Tokoh-tokoh dalam drama bukan hanya sangat intim tapi juga terasa melebur dan merepresentasikan pengalaman penonton. Teater menjadi upacara bersama. Saya menyebut eksperimentasi mereka ‘realisme tembus batas’.
Lihatlah repertoar Gardanalla Margi Wuto digelar di Aula Asrama Syantikara Yogya 26-27 November 2013. Joned menghadirkan pertunjukan itu menjadi medan pengalaman bersama antara ‘pemain’ (yang mayoritas menyandang cacat mata/tunanetra) dan ‘penonton’ dikaruniai mata untuk melihat. Joned menciptakan ‘ruang permainan’ dengan membangun sebuah labirin kamar-kamar. Ada kamar tidur, ada kamar untuk buka jasa pijat tunanetra, ada lorong dan ada ruang- ruang khusus’ bagi ‘penonton’. Uniknya, untuk menikmati ‘pertunjukan’ ini, semua ‘penonton’ dibebat matanya dengan kain. Teater sudah berlangsung sejak penonton—dengan mata tertutup—memasuki ruang ‘pertunjukan’, hingga digelarkan ‘drama’ selama 20 menit.
Dengan mata tertutup, imajinasi penonton jadi sangat liar dalam merespons berbagai bunyi dan suara yang membangun struktur dramatik dan pemaknaan atas realitas. Joned mencoba menciptakan ‘teater empati’. Upaya itu berhasil. ‘Penonton’ terpukau, bukan hanya oleh ‘permainan para aktornya’ yang wajar dan indah tapi juga oleh teater imajinatif yang dibangun impresi-impresi bunyi, suara dan peristiwa dramatik.
Transformasi ‘Kapai-kapai’
Lihatlah pula eksperimentasi Kalanari Theatre Movement (KTM) melalui pementasan Kapai-kapai atawa Gayuh (hasil transformasi naskah Kapai-kapai karya Arifin C Noer) di Taman Budaya Yogyakarta 16 Oktober 2013 dalam Festival Teater Jogja 2013. Pertunjukan ini lebih menekankan teater sebagai wahana untuk menciptakan gerakan kebudayaan (mempelajari, menginterpretasi, mengeksplorasi dan merepresentasikan kebudayaan suatu masyarakat. Tujuan internal adalah meneguhkan kembali ikatan antara pertunjukan dengan masyarakat. Tujuan eksternalnya menggugah masyarakat untuk mengembangkan kebudayaannya.
Ibed Surgana Yuga dan KTM mencoba mengatasi ‘jebakan’ politik ruang bernama gedung pertunjukan dengan memilih ruang terbuka di kompleks TBY untuk menggelar pertunjukan dan membangun komunikasi yang intim dengan publik penonton. Suasana yang terbangun pun cair, khas teater tradisional. Formalisme pertunjukan dilucuti. Teater terasa hadir lebih telanjang dan otentik. Ada kedalaman komunikasi. Penonton dan pementas berada dalam ruang upacara bersama untuk meneguhkan solidaritas sosial dan kemanusiaan; dua hal yang kini terasa semakin tergerus pragmatisme.
Mengembalikan peristiwa teater menjadi upacara bersama berarti mengutuhkan kembali realitas yang terfragmentasi (terpecah). Upacara yang dihadirkan Ibed dan KTM berupaya melahirkan totalitas komunikasi dan totalitas dunia pementas dan penonton ke dalam suatu jagat yang (diupayakan) utuh. Lazimnya dalam sebuah upacara, pementas dan penonton bersama-sama mengalami pencucian jiwa (katarsis).
Pencapaian di atas lahir dari upaya kreatif mereka mengolah ruang. Di sini, KTM tampak berusaha serius untuk menghadirkan teater yang menembus realitas: mengembalikan teater ke dalam denyut kehidupan publik. Ibed dan Joned telah memilih jalan: teater menjadi aktualisasi dari ideologi yang diyakini mampu melakukan subversi atas versi-versi besar tradisi kebudayaan teater yang mapan dan involutif. Antara lain melalui teater yang menembus realitas; bukan sekadar tiruan (copy paste) realitas. Mereka telah menunaikan ‘takdirnya’ sebagai teaterawan kreatif dengan menciptakan bahasa (simbol dan non-simbol, verbal dan non-verbal) yang berbeda dan segar untuk mengungkap pikiran dan sikapnya atas realitas yang mengepungnya.
Indra Tranggono, Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan.
Sumber:
Kedaulatan Rakyat, Minggu Pon, 23 Februari 2014, hal. 16.
Post-post terkait:
Related posts:
Naskah Lakon sebagai “Sekadar” Media Eksplorasi Artistik dan Gerakan Budaya
“Kapai-kapai (atawa Gayuh)” di Mimbar Teater Indonesia 2013 dan Festival Teater Jogja 2013
“Kapai-kapai atawa Gayuh” dalam Tafsir Komunal Jawa
0 komentar