Teater Rakyat: Reinkarnasi Teater Purba
Foto & desain: Ibed |
Pengantar
Maaf, ini bukan masalah politik praktis – karena kini kata “rakyat” menjadi sangat politis, apalagi di masa kampanye pilpres. Ini bukan pula masalah dikotomi teater rakyat dan teater istana yang kerap digunakan untuk memilah teater tradisi kita di Nusantara. Ini adalah masalah bagaimana meneguhkan kembali ikatan antara teater dengan rakyat.
Jika kita sepakat bahwa teater lahir dari rakyat atau masyarakat kebanyakan, maka mengapa perkembangan teater kontemporer justru menjauhi rakyatnya? Teater menjadi sosok eksklusif yang asing bagi masyarakat kebanyakan. Jarang muncul teater yang mencerminkan identitas atau masalah-masalah spesifik masyarakat kebanyakan. Demikian pula publik teater (masyarakat teater) yang tak seberapa itu belum bisa diidentifikasi secara utuh siapa sebenarnya mereka.
Salah satu gerakan yang mencoba “mengembalikan” teater kepada rakyat adalah “teater rakyat”. Puskat, salah satu pengembang teater rakyat di Yogyakarta, menyebut teater rakyat sebagai adaptasi dari luar (di antaranya metode Augusto Boal yang telah dikembangkan Philippine Educational Theater Association – PETA) yang bertujuan menyuarakan suara rakyat kecil yang tertindas, “the voice of voiceless”. Teater ditujukan untuk mengangkat masalah-masalah sosial dalam masyarakat yang selama ini terabaikan. Teater rakyat bisa dijadikan sebagai sarana berkomunikasi dan memecahkan permasalahan. Para partisipan teater rakyat diajak mengalami proses pembelajaran agar lebih peka terhadap permasalahannya.
Dengan mengetengahkan premis “Teater rakyat: mana teaternya, mana rakyatnya?”, Temen Ngobrol #2 mengobrolkan masalah di atas bersama Budi S Gemak, seorang pegiat teater rakyat, sebagai temen ngobrol. Salah satu pendiri Institut Teater Rakyat Yogyakarta (1992) ini telah lama menggunakan teater untuk melakukan kerja fasilitasi dan advokasi untuk rakyat, terutama untuk rakyat yang masuk kategori kelas termarjinalkan. Budi S Gemak juga merupakan anggota Kelompok Bermain Boal (2014). Berikut hasil obrolan dalam Temen Ngobrol #2 yang berlangsung di basecamp Kalanari Theatre Movement, Jl. Perintis, Jeblog, DK III, RT 01, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta, pada Jumat, 27 Juni 2014, 19.00 s.d. 22.00 WIB. Dimoderatori oleh Andika Ananda, partisipan yang hadir pada malam itu antara lain: Peralihan Pertiwi Ideagoesvita, Maya, Waris Lakek, Okta Perek, Noni, Egbert Wits, MN Qomaruddin, Joned Suryatmoko, Qieruns, Dina Triastuti, Tembong Siswodiharjo dan Ibed Surgana Yuga.
Dongeng Teater Purba
Baiknya kita awali dengan sebuah dongeng sebagaimana yang didongengkan oleh Budi S Gemak. Dongeng ini adalah ilustrasi yang bagus tentang bagaimana teater purba terjadi, bagaimana hubungannya dengan teater rakyat, dan bagaimana kemudian kepentingan kekuasaan masuk dalam masyarakat, termasuk dalam dunia teater.
Ketika zaman purba, kehidupan masih nomaden dan menggantungkan hidup dari berburu, manusia memiliki kebiasaan berpesta setelah masa berburu yang cukup lama. Di antara berkobarnya api unggun, salah satu dari mereka berdiri dan bercerita, “Dalam perburuan kemarin aku sama sekali tidak dapat binatang buruan. Aku sekeluarga terpaksa harus bergantung pada saudara-saudara yang banyak mendapat hasil buruan, agar bisa tetap bertahan hidup sampai masa berburu selanjutnya.”
Seorang lain maju menanggapi, “Kok kamu bisa-bisanya tidak dapat hasil buruan? Lihat, aku dapat tiga ekor kijang.”
Yang mengeluh tadi bertanya, “Lho, bagaimana caranya?”
Yang ditanya tadi balik bertanya, “Sekarang aku tanya, bagaimana caranya kamu berburu?”
“Begini, ketika aku ketemu seekor kijang, aku berdiri persis di depanku, kutatap matanya, kubidik, lalu kulepas anak panahku. Cuuussshhh...!” ceritanya sambil memperagakan. “Tapi tidak kena. Kijangnya lompat dan lari.”
“Wooo.., keliru! Lihat caraku!” Lalu menasihati sambil memperagakan, “Kalau kamu lihat kijang, jangan mengahapinya dari depan. Kamu harus ambil posisi di sampingnya. Kalau kamu dari samping, kamu akan dapat bidang tembak yang lebih luas. Dengan cara itu, aku dapat tiga ekor kijang.”
Tiba-tiba seseorang lain lagi maju dengan semangat. “Itu cara kuno! Ini lihat, saya dapat enam ekor kijang!”
Yang lain tersentak heran dan penasaran bagaimana caranya.
“Bagaimana caranya? Benar yang kau bilang tadi, jangan dihadapi dari muka, melainkan dari samping. Tapi itu saja tidak cukup. Masih ada satu hal yang harus diperhatikan. Arah angin. Jangan sampai angin berembus dari arahmu membidik karena kijang akan mencium keberadaanmu. Kalau kamu pada posisi yang salah, kamu harus memutar agar berlawanan dengan arah angin,” ceritanya sambil memperagakan pula.
Dari proses teaterikal dalam satu masyarakat pemburu yang komunal itu, muncul satu masalah tentang kegagalan berburu. Lalu ada orang lain yang memiliki dan memaparkan cara mengatasi masalah, yaitu bagaimana berburu yang baik dan benar. Sekian banyak anggota masyarakat pemburu yang menyaksikannya menjadi tahu bagaimana mengatasi masalah itu. Mereka jadi pintar dan tahu cara jitu berburu. Beginilah salah satu contoh bentuk dan tujuan yang ingin dicapai oleh teater rakyat. Teater purba semacam ini lama-kelamaan hilang saat kepentingan-kepentingan – terutama kekuasaan – masuk ke dalamnya.
Ada orang yang memiliki kepentingan, yang ingin berkuasa, atau yang ingin kekuasaannya dilanggengkan, masuk dan memanfaatkan tradisi bercerita setelah berburu itu untuk tujuan kekuasaannya. Ia akan mengupah seseorang untuk menyampaikan cerita baru yang mendoktrin masyarakat pemburu, agar kepentingan kekuasaannya tercapai. Orang yang diupah itu akan bercerita, “Aku dapat 20 ekor kijang!”
Seluruh masyarakat pemburu terhenyak. Luar biasa. Belum pernah ada pemburu yang mencapai jumlah itu.
“Begini caranya, sebelum aku berangkat berburu, kupukul tanah tiga kali, sambil menyebut nama kepala suku kita. Dengan cara itu, 20 ekor kijang terkapar oleh anak panahku. Begitu seterusnya, hasil buruanku semakin bertambah dengan cara itu. Lalu setelah berburu kuserahkan dua ekor kijang kepada kepala suku.”
Kebiasaan untuk menjadi pintar, menyadari permasalahan bersama dan menemukan solusi permasalahan perlahan hilang karena mulai masuknya kepentingkan kekuasaan. Masyarakat komunal pemburu pun mulai terhegemoni kekuasaan pihak tertentu yang ingin mengambil keuntungan dari kehidupan masyarakat. Kondisi ini kemudian dikultuskan, diritualkan, dan mentradisi. Muncullah ritual yang menjadi tradisi suku itu.
Selanjutnya kepala suku semakin tinggi kekuasaannya, masyarakatnya semakin banyak, kepala suku menjadi raja, kesatuan suku berkembang menjadi kesatuan kerajaan yang berpusat di istana. Dan teater pun berkembang menjadi teater istana yang hanya boleh dipentaskan di (atau atas kepentingan) istana dan hanya orang tertentu yang boleh menjadi pelakunya. Rakyat kebanyakan hanya menjadi penonton, dan masalah-masalah yang muncul di tengah rakyat diwakilkan lewat pelaku-pelaku atau aktor-aktor teater istana. Proses ini menyertakan semacam filter yang menyaring masalah mana saja yang boleh dan yang tabu diangkat dalam pertunjukan teater. Teater istana mewujud sebagai pengendali berbagai aspirasi rakyat. Di sisi lain, melalui doktrinasi yang dikultuskan, rakyat (dipaksa untuk) merasa terwakilkan oleh teater istana. Ini adalah sebuah halusinasi yang diciptakan penguasa istana.
Menurut Gemak, teater rakyat sebagai metodelogi ingin menghidupkan kembali spontanitas, improvisasi, dan proses belajar yang ada dalam teater purba di atas. Mengapa harus dihidupkan lagi? Karena sekian lama masyarakat telah dikungkung dalam proses yang halusinatif di atas; seakan-akan dengan menonton saja rakyat sudah dianggap terlibat dalam teater itu, terlibat dalam permasalahan yang diangkat. Kondisi inilah yang ingin dibebaskan oleh gerakan teater rakyat, sehingga rakyat menyadari kondisinya yang terepresi.
Temen Ngobrol #2 di basecamp Kalanari, 27 Juni 2014. Kanan: Budi S Gemak. | Foto: Ibed |
Gemak mengenal teater rakyat melalui Puskat (Pusat Kateketik, Yogyakarta), yang dikembangkan oleh Fred Wibowo. Teater rakyat di Puskat merupakan pengembangan dari teater rakyat yang dikembangkan Philippine Educational Theater Association (PETA). Teater rakyatnya PETA berakar pada teater rakyat di Amerika Latin, yang dikembangkan oleh Augusto Boal sebagai perlawanan terhadap penguasa yang represif. Di sana penguasa, pemodal dan militer bersekongkol untuk menindas rakyat. Teater dijadikan media untuk mencerdaskan dan menyadarkan rakyat akan kondisi mereka yang terepresi, sehingga mereka bisa menemukan solusi untuk keluar dari kondisi itu. Menurut Gemak, teater rakyat pada era 1980-1990-an berkembang di Indonesia sebagai imbas keberangkatan beberapa tokoh teater ke Filipina untuk mendapatkan training di PETA. Beberapa tokoh yang berangkat ketika itu, di antaranya: Fred Wibowo, Simon HT, Emha Ainun Nadjib, Joko Kamto, dan ada lagi Landung Simatupang yang membatalkan keberangkatannya.
Ketika mendengar istilah “teater rakyat”, orang akademis cenderung akan berpikir tentang dikotomi teater rakyat dan teater istana yang digunakan untuk mengidentifikasi teater tradisi di Nusantara. Selanjutnya akan muncul istilah lain, yaitu teater daerah, teater Nusantara, teater kampung, dan sebagainya. Egbert Wits yang menjadi salah satu pengawal program teater pemberdayaan yang diinisiasi Yayasan Kelola mengomentari masalah penamaan/penerjemahan ini melalui perbandingan dengan tradisi rakyat Belanda di masa lalu. Di sana ada yang disebut dengan folk theatre dan people’s theatre, merupakan suatu kebiasaan rakyat menciptakan peristiwa teaterikal secara improvisatoris pada saat berkumpul di hari-hari perayaan, sebagai representasi dari kejadian-kejadian menarik dalam kehidupan mereka. Ini merupakan bentuk teater yang sederhana, namun menjadi wadah yang efisien bagi rakyat untuk merefleksikan momen-momen penting dan menarik dalam kehidupan mereka. Menurut Egbert, folk theatre adalah teater rakyat dalam arti sebagai bentuk teater, sedang teater rakyat yang dikembangkan PETA adalah teater rakyat sebagai metode.
Gemak menyebut terminologi “teater rakyat” merupakan terjemahan dari “popular theatre”. Ada juga yang menyebutnya sebagai teater penyadaran, teater pembebasan, teater pemberdayaan. Sedang Joned Suryatmoko, sutradara Teater Gardanala, berpendapat bahwa memang istilah popular theatre dan people’s theatre diterjemahkan menjadi “teater rakyat”, namun ia sendiri cenderung setuju pada konsep people’s theatre. Walaupun perbedaan pengertian kedua istilah ini sangat tipis, namun secara konseptual keduanya merujuk pada pengertian rakyat yang berbeda. Popular theatre menurut Joned merujuk pada kesenian yang tumbuh di masyarakat, dalam pengertian yang lebih organik. Namun ini hanya menyebut rakyat sebagai sumber teaternya saja. Sedangkan people’s theatre menyebut rakyat (people) dalam pengertian politis, dalam hubungannya dengan kekuasaan. Itu sebabnya ada istilah people’s power di Filipina ketika ada gerakan menggulingkan Presiden Ferdinand Marcos. Jadi istilah people’s theatre memang merujuk pada rakyat, rakyat yang tertindas.
Gemak mencoba merumuskan di mana akar teater rakyat ini lebih dalam. Dalam dunia teater ada konsep realisme-sosialis Bertolt Brecht, yang mana teater tidak lagi mengangkat tema-tema yang bersumber dari kehidupan istana atau kaum elit, namun mengangkat tema-tema sosial yang membuka kesadaran masyarakat tentang situasi yang ada di hadapan mereka. Di dunia ilmu, pengaruhnya datang dari Paulo Freire yang dikenal dengan konsep pendidikan orang dewasa. Augusto Boal kemudian menerjemahkan kedua pemikiran itu dalam suatu konsep dan metode teater untuk kaum tertindas. Egbert menambahkan bahwa Boal bukan hanya terpengaruh Freire dalam hal pendidikan orang dewasa, namun juga gagasan Freire tentang “orang harus menciptakan dunianya sendiri”. Pemikiran Freire ini berangkat dari kondisi dunia pendidikan yang dianggap menyeragamkan individu sehingga dicekoki dengan model pengetahuan yang sama, padahal pendidikan mestinya bisa menjadi jembatan bagi manusia untuk menggambarkan dan menciptakan dunianya sendiri. Orang baru bisa berkembang ketika ia bisa menciptakan dunia sendiri, bukan menerima begitu saja keadaan atau arus dunia – yang potensial menghanyutkan.
Setelah mempelajari teater rakyat dari Puskat (salah satunya bersama Joned), Gemak kemudian menerapkannya secara gratul-gratul, sebab menurutnya tidak dengan serta-merta konsep teater rakyat yang dikembangkan PETA bisa diterapkan di Indonesia. PETA mengaplikasikan teater rakyatnya pada masyarakat Filipina yang homogen, sehingga konflik antargolongan sangat kecil skalanya. Sedangkan kita di Indonesia yang heterogen, memiliki potensi konflik yang besar. Penerapan teater rakyat di Indonesia menemui banyak kendala, terutama dalam hal keberlanjutannya. Teater rakyat di Indonesia tidak bisa berdiri sendiri; harus menjadi bagian dari proses pengorganisasian masyarakat, bukan menjadikannya sebagai suatu kelompok teater yang independen (dari organisasi masyarakat) di tengah masyarakat. Dengan kata lain, teater rakyat ada di dalam organisasi masyarakat, sehingga diharapkan organisasi ini menjaga keberlanjutan teater rakyat. Teater berperan sebagai media bagi organisasi untuk mengembangkan masyarakat.
Teater Rakyat yang Relevan
Menurut Joned, sebagaimana wawancaranya dengan tokoh Puskat, sebenarnya teater rakyat di Indonesia tidak murni berasal dari PETA. Teater rakyat ini merupakan salah satu bentuk pengetahuan yang (mungkin) ultimate, puncak, dari Puskat, yang berhasil melokalkan konsep teater Augusto Boal dan PETA ke dalam konteks masyarakat Indonesia. Misalnya, dalam hal penulisan naskah serta menghubungkannya dengan bentuk-bentuk teater tradisi. Konsep teater rakyat PETA secara bentuk lebih fisikal, sedangkan pihak Puskat memandang masyarakat Indonesia sebagai masyarakat oral, sehingga budaya bertutur sangat penting dan efisien dalam komunikasi masyarakat. Dari analisis ini muncullah teater rakyat yang dikembangkan oleh Puskat.
Joned melihat bahwa di Indonesia sekarang sudah jarang ditemukan (istilah) teater rakyat, karena memang semakin tidak relevan apa yang disebut sebagai rakyat. Joned sepakat dengan Lono Simatupang yang menyebutnya sebagai teater pemberdayaan, yang menurutnya memiliki agenda yang lebih jelas, yaitu memberdayakan masyarakat. Joned sendiri juga mengkritisi metode teater rakyat yang selalu berasumsi bahwa rakyat ditindas oleh struktur, sistem, sehingga rakyat dianggap sebagai agen yang pasif. Sedangkan seharusnya harus ditilik juga bahwa ada masalah dalam relasi antaranggota masyarakat yang berhunbungan dengan mental mereka. Di samping itu, teater rakyat selalu to the point dengan mencari masalah yang ada di masyarakat, lalu masyarakat diajak memetakan masalah mereka sendiri. Ini menurut Joned seperti mengajak orang lapar untuk membahas mengapa ia lapar. Mestinya teater rakyat bisa mengajak masyarakat untuk bersenang-senang, bergembira, membuatnya menjadi sadar, lalu baru diajak untuk menilik permasalahannya.
Tentang teater rakyat yang diadopsi dari Augusto Boal, Egbert juga mencoba mengkritisinya, berdasarkan pengalamannya beberapa tahun mengawal proyek teater pemberdayaan di Indonesia. Ia setuju dengan Joned bahwa sudah tidak relevan lagi kini memulai dengan pemetaan masalah. Egbert memaklumi mengapa Boal melakukan metode dengan mengedepankan masalah, sebab kondisi sosial-politik di Amerika Latin ketika itu memang sangat represif dan itu menjadi masalah utama. Dalam atmosfer masyarakat Indonesia kekinian, menggiring untuk memetakan masalah terlebih dahulu lebih baik diubah dengan metode yang lebih layak, yaitu memetakan hal-hal positif, seperti harapan, cita-cita, mimpi, aspirasi dan sebagainya.
MN Qomaruddin yang pernah terlibat workshop bertajuk kreativitas berbasis kesenian di Yayasan Bagong Kussudiardja (YBK, Yogyakarta), memiliki pengalaman tentang bagaimana kelemahan penerapan metode yang mengutamakan masalah ini. Dalam sebuah workshop yang diselenggarakan YBK untuk para PNS, tiba-tiba ada seorang peserta yang marah dan tersinggung. Para peserta adalah orang yang sangat mengerti sistem dalam birokrasi, dan fasilitator kemudian ujuk-ujuk berbicara tentang masalah kebobrokan sistem, ruwetnya birokrasi pemerintahan, dan sebagainya. Inilah barangkali pentingnya bagaimana fasilitator harus memahami betul permasalahan yang terjadi dalam masyarakat yang akan dimasukinya, termasuk bagaimana permasalahan itu beroperasi di dalamnya.
Bentuk Teater Rakyat dan Posisi Seniman
MN Qomaruddin sebagai pelaku teater, seniman, mempertanyakan apa posisinya jika ia terlibat dalam proses teater rakyat? Apakah bisa dikatakan bahwa ia juga berposisi sebagai rakyat? Atau posisinya sama dengan ketika ia berproses teater dalam rangka menciptakan pertunjukan dengan sesama pelaku teater? Menjawab pertanyaan ini, Gemak memberi gambaran yang lebih luas. Teater rakyat adalah teater (baik proses latihan maupun pertunjukannya) yang dilakukan, diciptakan dan dipertunjukkan oleh dan untuk rakyat dalam sutu kesatuan wilayah dan komunitas pelaku serta penontonnya. Jika teater itu kemudian dipentaskan di sebuah panggung teater di Jakarta, misalnya, ia telah keluar dari konteks dan batasan teater rakyat. Namun, bisa jadi sesama seniman membuat suatu pertunjukan teater rakyat, yang mana penontonnya juga sesama seniman yang memiliki pandangan, latar belakang, kegelisahan, permasalahan yang sama, sehingga tema dari teater itu menjadi semacam kesepakatan dan kesadaran bersama para seniman itu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa batasan rakyat dapat dilihat dari segmentasi atau lokusnya.
Gemak mencontohkan pengalamannya, misalnya, ketika pertama kali ia menerapkan teater rakyat pada 1992 di Dusun Tanen, daerah Kaliurang, teater dilatihkan dan dipertunjukkan oleh masyarakat dusun itu, mengangkat permasalahan lokal dusun, dan ditonton oleh masyarakat dusun itu pula. Demikian pula ketika teater rakyat diterapkan kepada anak jalanan. Yang melakukan adalah anak jalanan, dengan mengangkat permasalahan hidup mereka dan pertunjukannya ditonton oleh kalangan anak jalanan pula. Gemak sebagai seniman berposisi sebagai fasilitator yang hanya mendampingi dan tidak memiliki kapasitas dalam menentukan masalah yang diangkat, apalagi bermain dalam pertunjukan. Jika seniman yang bukan anggota dari masyarakat ikut ambil bagian menentukan tema dan permasalahan, apalagi ikut bermain, berarti seniman sendiri bertindak sebagai penguasa baru yang merepresi masyarakat melalui perannya dalam proses teater itu.
Gemak menegaskan bahwa dalam teater rakyat tidak ada sutradara (murni), “sutradara”-nya adalah bagian dari masyarakat, dan hanya berposisi sebagai semacam moderator yang mengakomodir berbagai ide dari masyarakat. Selain itu, tidak ada naskah tertulis, karena yang disampaikan adalah masalah masyarakat secara spontan, improvisatoris. Selanjutnya teater rakyat sebaiknya mudah dan murah. Mudah, bisa dilakukan oleh siapa saja, bagian dari masyarakat. Murah, dapat memanfaatkan potensi yang ada, tanpa harus mendatangkan sumber daya dari luar masyarakat itu. Dalam hal hubungan penonton dengan pertunjukan, tidak ada batasan tentang mana penonton dan mana penampil. Semuanya berada dalam satu ruang yang terlibat, berdialog bersama, menyampaikan aspirasi bersama. Dari segi bentuk pertunjukan, teater rakyat bisa berbentuk apa saja, biasanya mengutamakan lokalitas budaya masyarakatnya, yang jelas muatan-muatannya berupa permasalahan bersama para pelaku teater dan penontonnya, yang mana hal ini menunjukkan bahwa mereka adalah suatu masyarakat yang memiliki konsensus bersama.
Pada akhirnya metode teater rakyat memang bisa digunakan oleh siapa pun untuk tujuan atau orientasi tertentu, misalnya kampanye, agitasi, propaganda, pemberontakan dan sebagainya. Gemak menduga bahwa Lekra pada dekade 1950-1960-an juga mengembangkan metode yang mirip dengan teater rakyat, hanya saja tujuannya mengarah kepada ideologi politik. Egbert juga bercerita tentang bagaimana di Eropa sejak tahun 1970-an teater telah diaplikasikan dalam bidang-bidang yang sangat luas, yang beberapa di antaranya juga dilakukan di Indonesia. Misalnya, teater digunakan sebagai media edukasi siswa di dalam kelas, seperti untuk mengajar matematika, fisika, geografi dan sebagainya. Teater juga sering digunakan sebagai metode terapi, misalnya bagi pecandu alkohol dan pengidap gangguan kejiwaan. Di Belanda, teater malah diterapkan dalam perusahaan-perusaaan besar, di mana para pekerja manajemennya di-training dengan metode teater. Menurutnya, aplikasi teater semacam ini juga berakar dari konsep dan metode Boal.
Indikator Keberhasilan Teater Rakyat
Indikator keberhasilan proses teater rakyat, menurut Gemak, adalah rakyat atau masyarakat memiliki kesadaran untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan penentuan arah pembangunan di wilayahnya, yang mana sebelumnya proses ini didominasi oleh kalangan elit atau penguasa wilayah. Dalam kondisi dominasi penguasa yang tinggi, rakyat tidak punya media untuk merumuskan kebutuhan hidup mereka secara langsung. Yang terjadi adalah penguasa yang mengasumsikan kebutuhan rakyat, yang mana asumsi ini kemudian dijadikan dasar untuk menentukan kebijakan pembangunan. Melalui teater rakyat, berbagai masalah dan kebutuhan riil rakyat dirumuskan, dianalisis, lalu disampaikan secara kreatif, sehingga bisa diterima oleh rakyat banyak di wilayah itu sebagai aspirasi dan kesadaran bersama. Rakyat digiring untuk menyuarakan aspirasinya. Selanjutnya, rakyat diharapkan bergerak mencari solusi untuk mengatasi permasalahan bersama itu.
Bagaimana seniman teater terjun ke tengah masyarakat ketika masyarakat tidak memiliki masalah, dan justru para seniman yang masuk ke sana yang mengasumsikan bahwa masyarakat itu punya masalah? Tidakkah seniman yang masuk ke dalam masyarakat justru punya potensi menjadi sebuah sistem baru yang justru memperparah kondisi masyarakat?
Menurut Gemak, secara realitas tidak ada manusia tanpa masalah, apalagi masyarakat Indonesia dari dulu hingga kini. Yang harus dilakukan teater rakyat adalah membuka kesadaran masyarakat tentang suatu masalah dan penemuan solusinya. Tentang seniman yang masuk ke masyarakat dan dikhawatirkan menjadi hegemoni baru, Gemak menjawabnya dengan sebuah pengalamannya. Pada tahun 1996, setelah erupsi Merapi, masyarakat di sebuah desa di lereng Merapi ditekan oleh penguasa untuk merelokasi desa mereka, padahal di sana masuk daerah aman dari jangkauan erupsi Merapi. Isunya ternyata di sana akan dibangun sebuah monumen besar karya Soeharto. Gemak bersama Joned dan rekan lainnya masuk ke sana untuk melihat bagaimana keinginan yang sebenarnya dari masyarakat. Ditemukan bahwa masyarakat di sana diintimidasi, dipecah, sehingga muncul konflik horisontal. Gemak dan kawan-kawan masuk dengan metode teater rakyat, mengajak masyarakat berpikir tentang masalah mereka, memetakannya, lalu merumuskan suatu harapan ideal. Masalah itu lalu dituangkan dalam sebuah pertunjukan. Namun ternyata ada perlawanan dari penguasa setempat dan golongan masyarakat yang kontra. Pengalaman ini menunjukkan tidak adanya penyelesaian yang terjadi, justru yang terjadi adalah konflik. Namun menurut Gemak, hasil yang dicapai adalah konflik yang sebelumnya berada di bawah tanah, tersembunyi, menjadi muncul ke permukaan, sehingga tersadari. Memang konflik ini tidak serta-merta teratasi. Namun lama-kelamaan karena masih ada yang bertahan di desa, enggan direlokasi, akhirnya relokasi pun dibatalkan. Golongan pendukung relokasi (karena dibayar) yang sudah terlanjur pindah, lama-kelamaan pun kembali ke desanya. Dan sampai kini desa itu masih di sana.
Teater Rakyat dan Teater Lainnya
Berbicara tentang Boal dan teater rakyat, Joned menyarankan jangan berpikir bahwa Boal hanya berkutat pada teater kaum tertindas saja. Kalau dibaca dalam pengantar bukunya tentang teater kaum tertindas, kita bisa mencermati bahwa teater kaum tertindas hanyalah salah satu bentuk teater yang dilakoninya. Boal juga membuat pertunjukan untuk dipentaskan di panggung. Jangan sampai kita berpikir teater rakyat sebagai sebuah pilihan yang terkotak dan tidak menemukan hubungan dengan bentuk dan konsep teater lainnya. Pada masa 1980-an, banyak yang fanatik terhadap teater rakyat karena menganggapnya sebagai bentuk teater terbaik. fanatisme ini justru menjadi sumber konflik besar. Joned menceritakan pengalamannya pentas teater rakyat pada 1996, dan ada seorang aktivis yang berkomentar, “Teater harusnya ya begini!” Walaupun bernada pujian, Joned sebenarnya tidak setuju dengan komentar ini. Untung kemudian ada Landung Simatupang yang berkomentar bahwa tidak ada teater yang “harus begini”. Menurut Landung, teater yang utama mesti berguna bagi pelakunya, lalu untuk teater itu sendiri, dan terakhir baru untuk masyarakat. Menurut Joned, kata-kata Landung inilah yang ia pegang sampai sekarang dalam melakoni teater.
- Ibed Surgana Yuga
Post-post terkait:
Related posts:
Temen Ngobrol #2: Teater rakyat: mana teaternya, mana rakyatnya?
0 komentar