Antara ”Gayuh” dan ”Mega-mega”
Geladi Kapai-kapai (atawa Gayuh) dalam Helateater 2015, Komunitas Salihara, 22 April 2015 | Foto: Eva Tobing |
Dentingan gamelan jawa yang lirih, menjadi tembang kematian. Abu dan Iyem yang lapar duduk berhadapan, sesenggukan mengapit si jabang bayi yang lapar, sama-sama menunggu.
”Tanganku wae,” ujar Abu dalam tangisan. Iyem tak mau, ”tanganku wae,” ujar Iyem menepis jangan Abu. Suami-istri yang kalah oleh nasib itu berebut membunuh jabang bayi.
Begitu tubuh si jabang bayi terlempar, tetabuhan meledakkan gegaduhan. Arena penuh oleh jeritan tujuh manusia yang merangkak cepat, saling terjang, seperti serigala lapar berebutan jabang bayi. Tiap-tiap ”serigala” itu saling menerkam, dengan jabang bayi dalam gigitan masing-masing. Berpasang-pasang Abu dan Iyem buas, beringas karena marah kepada durjananya sendiri.
Adegan mengerikan itu bagian dari pementasan ”Kapai-Kapai (Atawa Gayuh)” di teater terbuka Salihara, 23-24 April. Pentas itu menjadi penutup kuat bagi Helateater Salihara yang memanggungkan lima lakon maestro teater Indonesia, Arifin C Noer.
”Kapai-Kapai (Atawa Gayuh)” garapan kolaborasi Kalanari Theatre Movement dan Sanggar Bangun Budaya mengantar penonton mengalami nuansa liris dan puitik yang menjadi ciri lakon-lakon Arifin C Noer. Semua pengalaman itu muncul lantaran sutradara Ibed Surgana Yuga memilih tidak mementaskan naskah Kapai-kapai karya Arifin.
Kolaborasi Kalanari dan Bangun Budaya memilih mementaskan lakon Kapai-kapai karya Arifin. Mereka mementaskan lakon itu dalam bahasa Jawa, ”membuang” teks asli Arifin yang kuat karena puitik. Namun, mereka mampu menghadirkan kuldesak Abu dan Iyem. Abu dan Iyem, laki-bini yang dikalahkan hidup dan mengalami seburuk-buruknya nasib, bertahan hidup gara-gara terus bermimpi menemukan Cermin Tipu Daya.
”Kami membaca naskah Kapai-kapai, mengambil ide tiap bagiannya. Lalu kami ’membuang’ teks Kapai-kapai, menyusun ulang ide lakon itu untuk membangun Gayuh,” kata Ibed soal garapan yang meraih Hibah Seni Kelola untuk dipentaskan keliling di Salatiga dan Kudus pada Mei mendatang itu.
Bermain di teater terbuka, para pelakon piawai merespons arsitektur gedung-gedung Komunitas Salihara, membangun panggung kolosal yang bergerak. Tangga melingkar Anjung Salihara, misalnya, dijadikan panggung puitis bagi kesia-siaan Abu dan Iyem berjalan mencari Cermin Tipu Daya.
Di tengah perjalanan, Abu dan Iyem bertemu banyak Abu dan Iyem, yang lapar dan berbagi makanan. Banyak Abu dan banyak Iyem yang rukun itu berseteru ketika saling tahu mencari Cermin Tipu Daya.
”Aku Abu,” kata yang satu. ”Kui aku,” kata yang lain. ”Ora iso, kui aku,” kata yang lain lagi. ”Ora ngono, aku sing Abu,” kata yang lainnya lagi. Jati diri Abu, lelaki dengan seburuk-buruknya nasib hingga membunuh bayi sendiri, diperebutkan gara-gara punya harapan. Harapan berupa mimpi kosong Cermin Tipu Daya.
Jajang C Noer memuji Gayuh garapan Kalanari dan Bangun Budaya yang sepenuhnya mengubah Kapai-kapai. ”Arifin selalu bilang, begitu naskah dipentaskan, sutradara memiliki otoritas penuh memilih pemanggungannya,” kata Jajang.
Di antara mimpi
Berkebalikan dari Gayuh garapan Kalanari dan Bangun Budaya, Mega-mega yang dipentaskan Prodi Teater Institut Kesenian Jakarta sepenuhnya taat kepada teks Mega-mega karya Arifin. Sutradara Bejo Sulaktono yang telah belasan kali mementaskan Mega-mega menyuguhkan ”wujud asli” absurditas teks Arifin, dan memukau penonton pentasnya di Teater Salihara pada 11-12 April silam.
Dilumasi permainan memukau Banon Gautama yang berlakon sebagai si gila Koyal, Mega-mega menghadirkan kejar-kejaran bersusulan di antara ”dunia mimpi” dan ”dunia nyata” karakter-karakter yang dibangun Arifin dalam naskahnya. Celoteh Koyal — yang rawan tergelincir menjadi kotbah —mengalir menjadi satir liris tentang kemiskinan nyata yang mematikan dan harapan palsu yang menghidupkan.
”Dunia mimpi” di panggung Mega-mega dibangun dengan menyeret imajinasi penonton untuk ”ikut mementaskan” santap gudeg imajiner. Penonton tertawa melihat Koyal membawa teman-temannya menyantap gudeg yang tak ada, menertawakan kemustahilan mimpi-mimpi Koyal.
Eksekusi itu berbeda dari pilihan Teater Gardanala, misalnya, yang 18-19 April mementaskan versi 80 menit dari Sumur Tanpa Dasar karya Arifin. Sutradara Joned Suryatmoko menjadikan jendela tanpa kaca sebagai ”gerbang peralihan” antara ”dunia mimpi” dan ”dunia nyata” Jumena Martawangsa. Pilihan sutradara Bejo Sulaktono lebih melarutkan penonton untuk memasuki ”dunia Arifin”. (Aryo Wisanggeni)
Sumber:
Kompas
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 April 2015, di halaman 26 dengan judul "Antara ”Gayuh” dan ”Mega-mega”".
0 komentar