“Kapai-kapai”: Sebuah Kedunguan Eksperimental
Kapai-kapai (atawa Gayuh) di Helateater Salihara 2015 | Foto: Felix Jody Kinarwan | Sumber: Teater KataK |
Maka, apresiasi lebih patut diberikan pada naskah Kapai-kapai karya Arifin C. Noer. Sejak pertama dibuat pada 1970, naskah ini telah dimainkan ulang oleh berbagai teater lintas generasi. Kisahnya sederhana saja, menyoal kedunguan dalam kemiskinan. Walau begitu, ia punya banyak ruang interpretasi hingga bisa diterjemahkan dari berbagai sudut pandang berbeda.
Pada dasarnya, cerita berfokus pada perjalanan Abu mencari Cermin Tipu Daya demi meraih kesuksesan duniawi atas dorongan Emak. Namun, tokoh Emak kerap diganti sesuai tafsir sutradara atas cerita. Misalnya Ibed Surgana Yuga, sutradara Kalanari Theatre Movement yang mengganti Emak jadi Dalang dalam pentas Kapai-kapai di Teater Atap Salihara, 23-24 April 2015. Ini ia lakukan untuk mengadaptasi naskah ke dalam kebudayaan Jawa.
“Dalam naskah asli Arifin, ada hubungan erat antara Emak, dongeng, dan Abu. Di sini, kami mengubahnya jadi Dalang, penonton wayang, dan Abu,” ujar Ibed.
Ini jelas mengubah banyak hal karena hubungan Abu dengan Emak adalah relasi antara anak dan orangtua. Di sisi lain, Abu sebagai penonton wayang dengan Dalang tak memiliki pertalian seerat itu. Maka, Ibed seakan bermaksud menunjukkan posisi kisah pewayangan yang telah begitu diimani dalam kebudayaan masyarakat Jawa. Dalang tak hanya bertugas memainkan wayang, ia bahkan memberi dogma pada para penontonnya.
Kapai-kapai (atawa Gayuh) di Helateater Salihara 2015 | Foto: Felix Jody Kinarwan | Sumber: Teater KataK |
Abu pun sekuat tenaga mencari Cermin Tipu Daya di ujung dunia, di sebuah toko milik Nabi Sulaiman. Dalam logikanya: sekali saja ia mesti bekerja keras untuk selamanya. Setelah sukses datang, ia bisa santai hingga akhir zaman.
Namun dalam proses pencarian, hidup Abu makin runyam. Ia dipecat dari pekerjaannya. Beras habis di rumah, dan Iyem mengancam akan membunuh sang jabang bayi karena tak tahan lagi. Semua terjadi karena Abu terjebak dalam mimpi.
Eksperimental
Dalam pementasan, penonton seakan masuk ke dalam Pensieve di kantor Albus Dumbledore dalam cerita Harry Potter. Kita bagai menyaksikan kumpulan cuplikan kenangan yang hadir secara non-linear. Itu terjadi karena penonton berada di panggung yang sama dengan para pelakon. Alhasil, Abu bisa mendadak muncul di belakang atau berteriak galak di hadapan kita. Bahkan keringat Abu dapat tercium jelas di beberapa kesempatan.
Kalanari Theatre Movement memang memanfaatkan Teater Atap Salihara semaksimal mungkin. Mereka tampil dengan gaya eksperimental hingga menabrak segala aturan yang ada dalam tata panggung konvensional.
Setidaknya, ada tiga jenis panggung yang kerap digunakan dalam berbagai pementasan teater: Proscenium, Thrust, dan Arena. Proscenium adalah panggung bingkai yang berjarak dengan penonton. Di sini, penonton menyaksikan para pelakon tampil dalam bingkai itu yang kerap disebut sebagai lengkung Proscenium. Dengan adanya batasan yang jelas, pergantian tata panggung dapat dilakukan tanpa sepengetahuan penonton. Panggung model ini bisa kita temukan di berbagai gedung pementasan di Jakarta, misalnya Gedung Kesenian Jakarta atau Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki.
Panggung Thrust mirip dengan Proscenium. Hanya saja, sebagian depan panggung di wilayah tengah menjorok ke arah penonton. Pada bagian depan ini, penonton bisa bisa duduk di sebelah kiri-kanan. Panggung ini biasa digunakan untuk konser musik.
Di sisi lain, panggung Arena berbentuk lingkaran sehingga penonton duduk mengelilinginya. Agar setiap pemain dapat terlihat jelas dari segala sisi, kita tidak bisa menempatkan set panggung berupa bangunan tertutup vertikal yang dapat menghalangi pandangan penonton. Panggung jenis ini bisa kita temukan di Teater Arena, Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta.
Dalam pementasan Kapai-kapai, panggung dimodifikasi dengan gaya Arena. Tumpukan jerami tertebar di bagian tengah. Obor bambu tersebar di berbagai penjuru. Alat musik karawitan dan panggung untuk Dalang berada di pojok salah satu sisi panggung. Bangku penonton berjajar di samping mengelilingi panggung. Namun, sebuah undakan pun diletakkan di satu sudut, di belakang kursi penonton. Dari sanalah Bos datang untuk memarahi dan memecat Abu.
Tak hanya itu, dalam sebuah adegan muncul pula seorang tukang dakwah dari atap gedung sebelah. Saat itu, penonton seakan melihat kemunculan seorang nabi kemarin sore yang berceramah panjang lebar soal Tuhan dan agama. “Tak ada obat yang lebih mujarab selain agama,” katanya. “Agama adalah kunci segala TTS, segala rahasia.”
Dengan model pementasan ini, penonton dibawa sangat dekat dengan kisah yang dibawakan. Adegan yang disajikan seakan terjadi dalam ruang dan waktu yang sama dengan penonton, sehingga semua bisa ikut tertawa, geram, atau bersimpati dengan Abu.
Kapai-kapai (atawa Gayuh) di Helateater Salihara 2015 | Foto: Felix Jody Kinarwan | Sumber: Teater KataK |
Akhirnya, Abu sampai di tempat tujuan. Dalang sendiri yang menyerahkan Cermin Tipu Daya padanya. Abu tertawa girang. Ia membanggakan diri dan menantang ke berbagai penjuru. Lalu tiba-tiba, Dalang mengangkat busur dan memanahnya dari jauh. Abu mati seketika, saat kebahagiaannya baru seumur jagung.
Jasad Abu tergeletak begitu saja di pinggir jalan. Orang-orang menemukan dan segera menguburnya dengan tumpukan jerami. Tak lama, Iyem datang membangunkannya. Iyem marah karena Abu bermalas-malasan dan urung mencari kerja. Lalu pentas pun usai.
Namun, apa yang terjadi di kepala kita belum usai. Abu adalah representasi ketamakan tak berujung dalam lingkaran setan kemiskinan manusia. Ia terus mencari yang duniawi untuk membuat hidupnya lebih berarti. Pencarian itu tak akan pernah usai, sementara ketamakannya terus berlipat ganda.
Lalu kita bertanya-tanya, bukankah selalu ada Abu dalam diri kita?
Viriya Paramita
Penulis lepas. Bergabung dengan Teater KataK sejak 2010.
Sumber: Teater KataK, 2015-04-28 - 02:14:32
0 komentar