Perpustakaan dan Arsitektur
Selasa, 11 Pebruari 2014. Aku dan teman-teman Bilik Literasi mendapat kesempatan istimewa. Suprapto Suryodarmo menuju kampus UII Yogyakarta untuk mengikuti sebuah acara bertajuk Menggali Pustaka Candi. Kami diajak turut serta. Bersama rombongan Mbah Prapto kami mulai beranjak setelah ada kisruh kecil di Bilik. Kami, para santri dhuafa terlambat menyambut kokok ayam. Semalaman kami lembur menggarap satu essai tanggapan buat Musliar Kasim, seorang praktisi pendidikan yang berkoar menyoal kurikulum 2013. Pagi itu kami harus tergopoh saat Mbah Prapto mengabarkan kesiapannya. Ricuh. Mandi pun tak sempat.
Keadaan memaksa kami berjalan kaki beberapa kilo menuju mobil Mbah Prapto. Di dalam mobil, aku duduk bersebelah Diana, seniman tari asal Amerika yang lama bermukim di Bali. Peluang ini tak boleh terlewatkan pikirku. Beruntung, Diana, meski tak fasih, mampu berucap Indonesia. Namun, ia masih saja menyelipkan kosakata Inggris ke dalam kalimat-kalimatnya. Obrolan diawali menanya nama dan alamat. Pencair suasana. Terbukti, setelahnya obrolan mengalir.
Menggali Pustaka Candi di Candi Kimpulan pada areal Perpustakaan UII Yogyakarta | Foto: Dok. Kalanari |
Diana banyak bercerita tentang arsitektur bangunan-bangunan rumah Jawa. Dari sini, baru aku tahu ia seorang arsitektur. Gelar doktornya ia raih di kampus Udayana. Sepanjang perjalanan, sambil terus bercakap, matanya menatap lekat setiap genteng bangunan yang kami lalui. Tak henti mulutnya menafsir setiap yang ia lihat. Menurutnya, atap rumah Jawa terkesan gagah ketimbang atap-atap di Bali. Ia menyebutnya lelaki. Lho, atap punya kelamin? Aneh pikirku. Tapi ini penafsiran, tak ada yang salah.
Obrolan terus bergulir, berganti pada topik perpustakaan. Awalnya ia menanyaiku perihal perpustakaan di daerahku. Aku memang belum berkesempatan sowan, tapi aku pernah melihat rupa perpustakaan di beberapa daerah lain. Tak ada yang menarik jawabku. Suasana, bangunan, dan tata letaknya tidak menyuguhkan rasa nyaman. Perpustakaan layaknya rumah sakit yang hanya orang sakit saja datang kesana. Kalau mereka belum merasa sakit, tak akan mereka berobat. Perpustakaan jadi angker. Kami terbahak.
Perpustakaan bukan saja aset ilmu pengetahuan, tapi juga rumah bagi para arsitektur. Nyatanya, perpustakaan kini bukan lagi tempat elok yang disakralkan. Bukan juga tempat mencari ketenangan. Persoalan serupa ini yang akhirnya membuat kita, untuk sekedar hadir disana pun enggan. Perpustakaan dirasa telah berkurang esensinya. Saat daya ingat sebagaimana Elizabeth D. Inandiak tekankan pada sarasehan siang itu, telah melemah kuasanya, bukulah tempat mengabadikan sejarah. Merekam peradaban. Dan bagaimana segala bentuk material ilmu pengetahuan ini terpelihara baik ialah dengan memanfaatkan perpustakaan. Perpustakaan sebagai pengumpul peradaban. Pengais yang tercecer.
Jika kita mau berkaca pada Eropa dan Amerika, betapa mereka sangat mengagungkan rumah aksara. Mereka amat memikirkan kenyamanan pengunjung agar sejarah tak terselamatkan hanya oleh buku, juga oleh daya ingat. Manusia membaca, menghafal, merenung, kemudian menyampaikan. Berpengharapan rantai sejarah tidak terputus. Perpustakaan adalah penyambung lidah. Perpustakaan Eropa memiliki jiwa, juga ruh. Perpustakaan hadir layaknya kekasih. Mereka berduyun mendekat, ingin menjadi bagian darinya. Itulah mengapa, mahasiswa Eropa dan Amerika berprinsip perpustakaan lebih penting ketimbang sekedar hadir di dalam kelas perkuliahan.
Seni arsitektur menjadi sebuah hal yang betul-betul dipertimbangkan. Mereka ingin, perpustakaan menjadi rumah kedua. Seperti halnya membangun rumah, mereka membuat perpustakaan senyaman mungkin. Tata meja, lampu, bentuk atap, pintu masuk, dan aula mendapat porsi lebih untuk diperhatikan.
Aku mencontohkan Vilnius University Library in Luthuania. Di meja, satu lampu untuk satu pembaca. Mereka tak perlu berebut cahaya dengan yang lain. Tata meja pun dibuat senyaman mungkin agar mereka betah berlama-lama disana. Ada sekat agar mereka tak dibuat ricuh pembaca lain. Satu lagi, Abbey Library of St Gallen, Swiss menata rak buku di setiap dinding lengkap dengan hiasan ukiran. Perpustakaan ini kemudian berkembang menjadi tempat wisata. Di dalam perpustakaan ini, para wisatawan dibuat betah berlama-lama. Selain kelengkapan koleksi bukunya, Abey menawarkan kenyamanan.
Pertimbangan-pertimbangan seni rancang bangunan semacam ini tak hanya terjadi di perpustakaan-perpustakaan besar saja. Diana berkisah tentang seorang mahasiswanya yang menakjubkan. Anak seorang tuna rungu yang minim pasokan kosakata namun memiliki semangat luar biasa. Remaja itu tumbuhkan keterbatasan menjadi kelebihan. Di masa dewasanya, ia menikah dengan seorang musisi dan mendirikan sebuah sanggar seni. Sederhana. Hanya terdiri dari sebuah aula sebagai ruang gerak dan sebuah perpustakaan. Kenyamanan menjadi nomor satu. Perpustakaannya, menurut Diana, berdinding dan berlantai kayu. Menimbulkan rasa sejuk dan nyaman. Sengaja tak diberi meja kursi disana. Pengunjung dibuat menyatu dengan ruangan, agar timbul rasa rindu kembali. Terbukti, pengunjungnya tak pernah sepi meski koleksi bukunya belum begitu banyak. Ini menjadi indikasi bahwa perpustakaan musti bertaut bersama arsitektur untuk menarik pengunjung.
Kekontrasan akan kita temui di Indonesia. Tak ada perasaan istimewa saat kita melangkah masuk di pintunya. Pepustakaan di Indonesia dimaknai hanya sebagai sebuah bangunan.Tak ada magnet yang menarik kita untuk terus datang padanya. Tak ada pertimbangan-pertimbangan layaknya Eropa. Memang banyak rumah baca kini, namun tetap saja sedikit sekali muncul ketertarikan. Rumah baca kian sepi, perpustakaan makin hening. Sebagai pelampiasan, perpustakaan digital menjadi pilihan. Akibatnya, manusia sekarang semakin jarang menyentuh buku. Mereka tak lagi dapat merasai kesakralan saat bersentuhan dengannya. Jika para praktisi pustaka masih berharap kecintaan pengunjung, maka sebaiknya ia ambil bangsa barat sebagai cermin.
Nurul Istiqomah
Sumber:
Tubuh Aksara, Sabtu, 14 November 2015
0 komentar