Kalanari Theatre Movement: Sebuah Niatan Menjadi Organis (2)
Mengakrabi Ruang dan Ruang Adalah Teks
Pendekatan improvisatoris sebagai bagian dari proses negosiasi ruang yang kami lakukan bisa melalui laku tubuh, perasaan, verbal atau pun merasakan atmosfer (energi) dari dimensi sebuah ruang. Kami menyebut ini dengan “mengakrabi ruang”, di mana siapa pun dituntut untuk siap berhadapan dengan berbagai kemungkinan.
Dalam setiap pengaryaan teater Kalanari (sependek yang saya alami), teks menjadi segala sesuatu yang “potensial” dijadikan rujukan atau sumber nilai penciptaan karya. Bisa berupa kenyataan objektif di luar hidup si pencipta (sutradara, aktor, penata artistik, bahkan perangkat pertunjukan lainnya seperti penonton) atau kenyataan subjektif dalam diri si pencipta itu sendiri. Jadi, tidak melulu teks dialami sebagai tulisan atau tuturan yang mengandung kata-kata yang “beramanat” dan berpesan. “Di” Kalanari teks bukan sekadar form tapi juga concept; teks adalah apa pun.
Bermula dari pengalaman di luar panggung pertunjukan konvensional (yang saya maksud dengan panggung konvensional adalah segala panggung yang dirancang untuk pertunjukan). Lalu berlanjut dengan meninggalkan panggung konvensional, baik secara bentuk maupun konsep. Tidak menggunakan panggung konvensional awalnya bisa jadi hanyalah karena alasan sepele: tak sanggup membayar sewanya atau karena ketiadaannya pada wilayah di mana kami mesti menggelar pertunjukan. Lalu kami dihadapkan dengan tantangan-tantangan menarik di ruang luar panggung konvensional, yang membutuhkan penyiasatan dan utak-atik artistik. Alih-alih melakukan penyiasatan, kami merangkul ruang itu, mengenalinya, lalu mengajaknya berkolaborasi. Kami menyikapinya sebagai semacam kenyataan yang terberi, atau telah berada sebelum kami memasukinya, yang merangsang kami bukan untuk menutup atau mengapusnya, malah menggali narasi atau teks keberadaannya dan memunculkannya dalam pertunjukan. Kami mengakrabi ruang itu dan mengajaknya berdialog.
Kami memulainya dengan membawa pertunjukan dengan teks dan bentuk yang sudah jadi ke suatu ruang outdoor. Pintu pertama ruang itu adalah kondisi fisiknya, baik natural maupun arsitektural: kontur, tekstur, akustik, arah angin, noise, suhu, cuaca, dan sebagainya. Lalu kami melakukan penyesuaian semaksimal mungkin untuk mengatasi berbagai hal yang ditengarai bisa mengganggu pertunjukan. Namun ketika menonton pertunjukan berlangsung, segera saja saya merasa ada perubahan besar yang diakibatkan pengaruh ruang itu. Pertunjukan menjadi berbeda sama sekali dari yang dirancang sebelumnya. Dari sinilah saya menyadari bahwa ruang itu bukan hanya mengubah bentuk pertunjukan di permukaan, namun di kedalaman ia telah memberi sumbangan teks yang sangat besar bagi pertunjukan. Ruang mengandung teks-teks yang berjalinan kuat, bahkan bisa lebih kuat dari teks pertunjukan yang telah kami rancang sebelumnya. Ada teks dari undak-undakan tanah dan beton, ada teks dari hamparan berumput dan berduri, ada teks dari jajaran semak-semak bambu, ada teks dari suara kendaraan yang lewat, ada teks dari basah yang ditinggalkan hujan, ada teks dari licinnya tanah becek, ada teks dari ketidakmungkinan menaruh perangkat sound system di alam terbuka karena khawatir kehujanan, ada teks dari ketaktersediaan saluran listrik.
Foto: Dok. Kalanari | Desain: Ibed |
Apakah teks-teks yang kompleks itu harus kami lawan? Misalnya, apakah kami harus menutup jalan kecil yang hampir menempel dengan tempat pertunjukan sehingga tidak ada suara noise kendaran yang mengganggu pertunjukan? Jika iya, mengapa teater harus melakukannya? Apakah pertunjukan teater lebih penting daripada mobilitas sosial masyarakat di sekitar tempat pertunjukan? Ah, tidak. Teater bukan konvoi mobil-mobil pejabat yang memaksa pemakai jalan umum untuk minggir. Kami lebih memilih untuk mengakrabi ruang-ruang itu, dengan “membiarkan”-nya berjalan sebagaimana biasa, “menerima” berbagai kebocoran teks mereka ke dalam pertunjukan kami, sehingga menjadi penyumbang teks bagi bangunan besar teks pertunjukan. Jika seorang fotografer tiba-tiba memotret dengan menggunakan lampu blitz di tengah-tengah pertunjukan, dan sempat menimbulkan impresi apa pun – termasuk gangguan – sepersekian detik dalam diri penonton atau bahkan pemain, bukankah si fotografer juga punya andil membangun teks pertunjukan? Jika kami meyakini teater sebagai suatu peristiwa langsung, kami tidak akan terganggu oleh kejadian-kejadian tak terduga yang muncul di tengah perjalanan peristiwanya. Justru dengan itu kami membangun kesadaran bahwa teater adalah bagian organis dari keseharian.
Lalu kami memutuskan untuk lebih mendalami ruang, mengakrabinya seintim mungkin. Kami menemukan ruang adalah jalinan teks yang kompleks, saling berpilin-berkelindan, lalu tertenun, bukan hanya dari benang alam dan arsitektur, namun juga benang sosial, politik, budaya, ekonomi, agama, sejarah, mitologi. Dimensi-dimensi ruang ini seakan hantu-hantu narasi yang gentayangan, menunggu untuk disapa dan diritualkan. Kami lalu mencoba meritualkannya dalam teater. Maka mulailah kami menyingkirkan (sementara) teks-teks lakon teater yang sudah jadi. Kami lebih dibius oleh teks yang manurut kami lebih besar: ruang. Kalau pun kami membawa teks dari luar ruang, itu hanyalah berupa benang-benang kasar-kusut yang coba kami urai dan cari benang sambungannya di ruang itu, lalu kami tenun bersama. Seperti misalnya dalam Panji Amabar Pasir, kami membawa teks cerita Panji yang terburai, lalu di ruang Omahkebon dan sekitarnya di bilangan Nitiprayan ia bertemu dengan teks kebun, sawah, sumur tua, rumah yang belum jadi, tempat pembakaran bata, lalu berkembang jadi teks transmigrasi keluarga Jawa.
Dalam In Situ #1: Permata, kami sepenuhnya mengandalkan teks dari ruang bekas Bioskop Permata. Teks dari luar yang kami bawa hanyalah teks tubuh kami. Ya, bagi kami, tubuh semua yang terlibat dalam pertunjukan adalah juga teks tersendiri. Tubuh memiliki teks sejarah, teks budaya, teks fisik, teks kepentingan, teks sensitivitas, juga teks untuk menafsir teks lain. Di bekas Bioskop Permata, teks bermula dari gedung tua, bergerak ke tema film horor, seks dan silat, menyolek figur legendaris Suzana, merambat ke represi rezim Orde Baru terhadap dunia film, menyenggol romantisme budaya menonton film tahun 1980-an, dan dilakukan oleh teks tubuh yang lahir di era 1980-an dan 1990-an. Berbeda hal dengan Kapai-kapai (atawa Gayuh) yang bersumber dari teks yang telah selesai ditenun oleh Arifin C Noer. Ruang yang kami hadapi pertama kali pun bukan ruang fisik, namun ruang sosiokultural bernama Sanggar Bangun Budaya, sebuah komunitas seni yang diawaki para petani lereng Merapi. Dengan permohonan maaf pada Arifin, kami dhudhah lagi tenunan indah Kapai-kapai jadi helai-helai benang, ada yang – entah sengaja atau tidak – kami buat kusut, kami hilangkan, kami celup dengan warna baru yang menutup warna lama dengan tidak sempurna, lalu kami tenun lagi bersama benang-benang dari Sanggar Bangun Budaya dan dari tubuh-tubuh di Kalanari sendiri.
Konsep yang kami sebut “mengakrabi ruang” ini sebenarnya mulai saya rumuskan dalam proses Kintir (Anak-anak Mengalir di Sungai) oleh Seni Teku. Namun Kintir bukanlah pengalaman pertama Teku dalam berhadapan dengan teks dari ruang. Secara tidak disadari, Teku telah memulainya dalam Sri 4 Me di Denpasar, 17 Desember 2007. Saya memutuskan untuk melanjutkan dan mengembangkan konsep mengakrabi ruang ini sebagai salah satu titik keberangkatan saya untuk mengkonstruksi Kalanari menjadi sebuah institusi gerakan budaya. Mengakrabi ruang adalah bagian dari menciptakan ekspresi yang organis, ekspresi yang teks-teksnya bersumber dari ruang itu juga (in situ, site-specific). Dengan demikian, teks jadi sangat kontekstual dengan ruang, lahir secara organis dari ruang dengan bantuan interpretasi teks tubuh kami.
Dan, bukankah pada dasarnya teater memang lahir dari penyikapan terhadap ruang? Sejarah teater dunia yang terbentang panjang memaparkan kepada kita tentang bagaimana aliran, konsep, gaya dan bentuk teater lahir sebagai respon terhadap ruang yang terus berkembang. Realisme lahir dari ruang modernisme. Dhadhungawuk dari ruang agraris. Perubahan bentuk atau konsep teater, bahkan kematiannya, merupakan konsekuensi dari perubahan ruang. Apa yang kami lakukan dengan konsep mengakrabi ruang sebenarnya hanyalah sebuah kesadaran bahwa teater bergerak dari teks-teks ruang (zaman) yang terus bergulir.
Ke Dalam: Manusia Dahulu, Baru Seniman
[...] bagi saya Kalanari bukanlah tempat berteater melainkan tempat berlibur dan beristirahat dari segala kepenatan saya di kampus dan urusan duniawi lainnya. Setiap berproses di Kalanari saya justru merasa berjarak dengan teater itu sendiri.
Selama hidup 22 tahun ini, Kalanari-lah yang mengajarkan kepada saya seperti apa kesadaran bernapas.
[...] di Kalanari proses [...] benar-benar dibebaskan. Kami dipancing untuk menemukan cara masing-masing tentang sebuah pemecahan masalah yang sering muncul dari kehidupan manusia sehari-hari. [...] kami terbiasa untuk menemukan “cara” dalam mencapai sebuah tujuan.
Kami belajar dan kemudian sadar bahwa mengakrabi ruang sungguh sesuatu yang muluk dan ndobos jika tidak didahului dengan mengakrabi tubuh diri secara personal. Tubuh mesti mengenal dirinya sendiri, jujur terhadap dirinya, sebelum memasuki suatu ruang, sebelum mengintimkan tubuh dengan ruang. Tubuh adalah subjek penting dalam hidup dan budaya (teater). Tubuh mesti dibaca sejarahnya, bagaimana ia tumbuh, siapa ibunya, untuk apa ia hidup, dengan apa ia telah bersentuhan, gesekan macam apa yang telah melecetkannya, impresi seperti apa yang mampu menggetarkannya. Dengan kata lain, teks tubuh harus dibaca kembali dengan saksama sebelum membaca dan menubuhkan teks-teks dari luar tubuh, agar tubuh tahu dengan perangkat semacam apa pembacaan teks dari luar tubuh bisa dialami.
Untuk membaca teks dari luar tubuh, memosisikan tubuh sebagai subjek yang hidup, maka yang di luar tubuh, yang mengandung teks-teks, mesti disubjekkan pula, dihidupkan. Mengakrabi ruang adalah proses dialog antara subjek (tubuh) dengan subjek-subjek lain di ruang. Tak ada objek, sebab objek adalah mati, tanpa makna; sedangkan dialog adalah antara yang hidup dengan yang hidup, antara makna dan makna lain. Untuk itu, tubuh harus telanjang dulu, menanggalkan dulu baju kesenimanannya, jujur sebagai subjek. Malah bila perlu, tubuh menjadi binatang atau tetumbuhan, sebab manusia telanjang, binatang atau tetumbuhan lebih jujur pada diri sendiri dan dengan ikhlas berdialog dengan semesta, tanpa pretensi politik-artistik. Seniman sering kali adalah manusia yang telah dikotori berbagai anasir politik artistik yang berindah-indah agar tampak bagus di mata-selera penonton. Saya sering menekankan bahwa yang terpenting dari teater adalah latihan, bukan latihan untuk pentas, namun latihan menjadi manusia. Sedang pentas hanyalah politik!
Kami sangat mengagungkan improvisasi dalam setiap latihan maupun pertunjukan. Bagi saya, improvisasi adalah kulminasi, bukan awalan, bukan pula sekadar pengembangan, apalagi cuma taktik untuk menyamarkan kecelakaan. Ia juga bukan sekadar teknik atau metode pelatihan. Improvisasi adalah aksi itu sendiri. Ia melebihi aksi yang telah dibentuk dari serangkaian latihan dan penghapalan yang taktis-pragmatis-politis. Improvisasi adalah hidup, kualitas aksi tertinggi. Di sini makna improvisasi yang paling dalam berada. Peristiwa yang baru kita hadapi pertama kali dan memerlukan tindakan improvisasi dari kompleksitas tubuh sebagai manusia – manusia hidup yang telah terlatih, tentu saja. Di sinilah makna penting latihan teater mesti diletakkan: melatih diri untuk hidup. Jika kita berbicara dalam konteks akting, maka akting yang mapan adalah akting yang telah jadi improvisasi. Di sinilah aksi mencapai puncaknya. Berimprovisasi adalah menjalani kehidupan sebenarnya yang terjadi (bukan tersaji) dalam pertunjukan. Improvisasi adalah here and now yang sejati. Ia lebih murni, lebih hidup, lebih “bersahaja”, dibandingkan dengan aksi yang ditata, yang dikoreografi, yang sering kali artifisial, penuh intrik dan politik. Improvisasi memboyong wilayah sadar, bawah sadar dan tak sadar sekaligus, secara serentak dan terus-menerus. Sedang aksi yang ditata sering hanya melibatkan wilayah sadar belaka, sadar bermain, sadar nggaya.
Itulah sebenarnya metode dasar latihan keaktoran di Kalanari. Tentu saja untuk memulainya kami mesti berjarak dulu dengan teater, ruang seni pertunjukan yang penuh dengan intrik-politik; dan sering kali kami juga mengorbankan teater itu sendiri. Kami mesti berusaha sekuat mungkin untuk menjadi manusia terlebih dahulu, memahami keberadaan tubuh, menyadari napas yang menghidupinya – sebelum berpolitik sekejap dalam pertunjukan. Maka tidak mengherankan jika kerja penyutradaraan saya sebenarnya bukan praktik mengatur peran dan pemeran, namun lebih pada kerja berdialog, berkolaborasi, memanusiakan manusia – yang sedang menjalani peran sebagai yang umum disebut aktor. Saya selalu memulai penciptaan peran dalam pertunjukan dengan mengekspoitasi – lalu mengeksplorasi – potensi-potensi sosial dan budaya yang dimiliki oleh setiap aktor, sebagai usaha saya untuk membaca dan menghargai sejarah tubuh mereka, yang artinya bagi saya adalah memanusiakan mereka. Kalanari hampir tidak pernah memberikan suatu latihan teknik baru untuk menambah kosa-keterampilan para aktor. Saya sebagai sutradara memilih untuk lebih mementingkan pengembangan kosa-sosial-budaya yang telah menyejarah dalam tubuh mereka. Ini yang menurut seorang teman justru tidak memberikan tantangan pada para aktor untuk meraih capaian baru, karena mereka diletakkan pada posisi aman, posisi yang telah mereka kuasai. Saya pikir, pendapat teman ini benar juga. Barangkali ini salah satu kelemahan metode penyutradaraan saya.
Dengan metode semacam itu pula saya sebagai sutradara – dan penulis teks – lebih mendahulukan manusia-manusia dalam Kalanari dibandingkan tokoh-tokoh dalam teks yang akan kami pertunjukkan. Ini membuat saya memberlakukan praktik “konyol” setiap mempersiapkan produksi pertunjukan: saya tak pernah menghitung berapa banyak tokoh dalam lakon, yang semestinya berkonsekuensi pada berapa banyak aktor yang dibutuhkan. Saya hanya menerima saja berapa pun orang yang bersedia ikut proses, entah yang telah pernah terlibat dalam Kalanari atau belum, atau bahkan orang yang baru saya kenal sekali pun. Jumlah orang inilah yang saya olah, entah itu kurang atau lebih dari jumlah tokoh yang mesti dimainkan dalam lakon. Dalam praktik ini saya lebih menekankan pengembangan personal orang-orang yang berniat terlibat proses, menyediakan ruang belajar buat mereka, daripada menyelamatkan kuota tokoh yang mesti dipenuhi dalam lakon. Saya sadar, teater adalah ruang pembelajaran, dan sebagai produk artistik ia bisa diciptakan dengan olahan macam apa pun, tanpa mesti mengorbankan kesempatan belajar siapa pun. Justru teaterlah yang mesti dikorbankan (baca: direkayasa) terlebih dahulu.
Namun sejatinya, praktik konyol penyutradaraan ini bagi saya tidak pernah mengorbankan atau menyacati bentuk atau capaian artistik teater kami. Justru sering kali praktik ini memunculkan impresi dan makna tak terduga dalam konteks artistik. Dalam Kapai-kapai (atawa Gayuh) yang telah dipertunjukkan delapan kali pada 2013 dan 2015, misalnya, saya menyediakan ruang bagi teman-teman pangrawit Sanggar Bangun Budaya yang ingin belajar bermain teater. Transformasi tokoh Emak (perempuan) ciptaan Arifin menjadi Ki Dhalang (laki-laki) pun didahului oleh pertimbangan dan pembacaan saya terhadap potensi sosial-budaya teman-teman Bangun Budaya, baru kemudian disusul oleh pertimbangan makna dan simbol tokoh. Ketika hendak dipertunjukkan lagi di Komunitas Salihara pada 2015, saya memutuskan untuk membuat dua pasang Abu-Iyem – yang sebelumnya hanya sepasang – hanya untuk mengakomodasi niat tulus seorang aktor yang sering ikut latihan rutin di Kalanari untuk bergabung dalam produksi yang sebenarnya sudah jadi. Ketika latihan merancang kembali pertunjukan yang dahulu sudah jadi dan membuat sedikit penyesuaian dengan masuknya sepasang Abu-Iyem lagi, ide artistik saya berkembang: menciptakan tokoh Abu – simbol kemelaratan itu – lebih banyak lagi, dengan memanfaatkan para pangrawit. Maka jadilah adegan banyak Abu yang bertengkar saling sikut, saling klaim sebagai Abu yang paling Abu, mereka berebut ke-Abu-an yang sebenarnya, kemelaratan sejati.
Karena bagi kami tubuh adalah teks, maka banyak sekali praktik yang demikian terjadi dalam proses Kalanari. Tubuh atau manusia justru adalah teks pertama yang ambil bagian dalam sebuah teks lakon yang dirancang untuk dipertunjukkan. Dalam lakon-lakon yang saya rancang sendiri justru praktik semacam ini lebih luas dan gencar. Tokoh-tokoh dalam lakon lebih sering saya ciptakan dengan berangkat dari hasil pembacaan saya terhadap ketersediaan jumlah maupun potensi sosial-budaya aktor yang akan terlibat. Dengan demikian, teks tubuh aktor bagi saya berkonsekuensi pada teks tubuh tokoh – bahkan dalam jangkauan makna seluas-luasnya. Bagi saya, teater tidak pernah menisbikan keberadaan tubuh, sebab tubuh adalah teks utama yang selalu jadi benang rajutan pertama, yang baru kemudian disusul oleh benang-benang teks dari ruang.
Jeblog, Pancaseming, Kuang, Maret – Mei 2016
Ibed Surgana Yuga
Catatan:
Tulisan ini dibuat untuk sebuah buku yang ditulis bersama para penulis dari kelompok-kelompok teater di Jogja, dalam rangka merumuskan ideologi teater masing-masing. Sampai tulisan ini diterbitkan di laman ini, buku dimaksud belum juga terbit karena beberapa kendala. Semua kutipan dalam tulisan ini dinukil dari catatan-catatan refleksi untuk ulang tahun Kalanari Theatre Movement yang keempat, 8 Maret 2016. Menjelang ulang tahun itu saya meminta semua teman yang pernah dan masih singgah di Kalanari untuk menulis catatan singkat tentang persentuhan mereka dengan Kalanari. Catatan-catatan itu – selain sebagai ungkapan untuk mengingat tanggal lahir Kalanari – adalah bacaan penting bagi saya yang selalu ingin tahu tanggapan atas kerja kolaborasi yang mereka jalani bersama saya. Silakan klik nama penulis pada setiap kutipan untuk membaca tulisan lengkapnya.
0 komentar